Saturday, September 22, 2012 - 0 comments

In law


Menikah memang tidak menjadikan kehidupan sederhana. Sebaliknya malah memperumitnya. Ini bukan hanya masalah menyatukan dua tubuh,jiwa dan pemikiran ke dalam sesuatu yang bernama kompromi, tapi juga belajar-selama waktu yang tidak dapat ditentukan- berkompromi pada anggota-anggota keluarga baru. Ingat, mereka bukan saudara tapi terpaksa menjadi saudara.
Istilah, bila kau menikah maka kau juga menikahi keluarga calon pasangan mu, itu benar adanya, dan tidak mudah di praktekkan. Kecuali suami/istri anda adalah anak tunggal yatim piatu dan orang tua nya juga merupakan anak tunggal dari pasangan anak tunggal. There will be brothers and sisters in law. In Law, secara hukum. Sudara yang terjadi berdasarkan hukum negara/ adat istiadat/ budaya. If you can not accpet them, you’ll die. Sooner or later, body and soul.
Beberapa teman yang baru menikah mengisahkan hal ini. Cerita tentang saudara ipar yang bawel dan merepotkan, cerita tentang mertua yang pilih kasih, serta cerita pasangan yang ternyata anak mami. Newly wed seems happy couple, tapi mereka ga sadar kalau menikah  itu bukan tutup buku setelah kalimat happily ever after. Yang tutup adalah buku menjadi bujang. Tapi anda menulis cerita baru dalam buku baru, baru kata pengantar sudah banyak tantangan. Apakah Bab I juga demikian. You decide.
I’ll share lil bit mine. Dalam bagian Kata pengantar saya sudah mengalami banyak tantangan. Then i know it won’t be over. Jelek kata, ipar/mertua yang ga bisa cocok sama kita itu ibarat penyakit ganas di tubuh kita. if it can not be healed so we should live with it. Survive, that is the answer. Mereka sudah begitu jauh sebelum kita kenal mereka. Kita nggak bisa nyuruh mereka berubah seperti yang kita inginkan dalam jangka waktu sebentar. They can not change, and so are you. Compromise.
Wajar sih ya kalau ada kesempatan ketemu pengennya berantem aja, atau kalau bisa nggak usah ketemu sekalian. Yang kedua ini ga mungkin dong ya. Soalnya kita punya hari raya yang harus di rayakan keluarga besar. Satu-satunya cara adalah, survive. Kalau saya orangnya seperti gunung berapi yang masih aktif. Sepertinya kalem, tapi gejolak amarah dalam diri saya begitu besar. Daripada cari ribut, saya memilih diam. Awalnya saya bisa berpura-pura, mau di ketusin saya diem, mau di jelek-jelekin saya diem, lama-lama saya nggak bisa membiarkan orang lain berlaku seolah saya mengijinkan mereka nge-bully saya. Biasanya saya menghindar. Tempat paling aman adalah ngedeketin mertua. Satu-satunya orang di keluarga suami yang ga mungkin mencobai saya.
Bila pada sebuah masa mereka akan baik, jangan takut, karena suatu saat mereka akan kejam juga. Jadi, kalau sekarang mereka kejam, pasti suatu saat akan baik. Kalau kita punya kesadaran bahwa pada hakikatnya kita berasal dari rahim yang sama, semua konflik jadi sedikit berkurang bobot penderitaannya. Take it or leave it, that easy. Kalau hidup Cuma sekali kita nggak banyak butuh drama.
In law things? It just one chapter, we still have another happy chapter in our marriage book.

0 comments:

Post a Comment