Thursday, March 29, 2012 - 0 comments

tentang keluarga besar

terdengar permbicaraan dari meja sebelah. seorang rekan kerja sedang menceritakan silsilah keluarga nya. well, saya nggak nguping lho. hanya meja nya terlalu dekat dan suara nya terlalu keras, saya yang nggak kepingin mendengarkan jadi ikut menyimak.

inti nya sih ternyata dia punya saudara tiri. sang ibu adalah istri kedua setelah sang ayah bercerai dari istri pertama.

saya jadi ingat diri sendiri. kalau orang tidak benar ingin kenal dengan saya pasti tidak akan menanyakan arti nama yang tidak sinkron dengan keadaan keluarga inti saya.

"Miss, nama nya Panca kan?" tanya Dani, asisten guru di tempat saya bekerja dulu bertanya
"hu'um", jawab saya
"artinya apa?" lanjutnya bertanya
"Panca kan artinya Lima", "Lho miss anak nomor lima?","errr..iya","tapi kok sodara nya cuma satu??"
hmmm, lalu mengalirlah the same old story itu.

saya memang anak kedua dari kedua bersaudara dari perkawinan ayah dan ibu saya. dan benar nama saya adalah panca, sesuai nama urutan setelah kakak nya yang Catur. lho?? kok bisa??
Saya punya tiga kakak tiri. question is answered.

tetapi saya nggak kenal baik dengan ketiga kakak tiri saya. sejarah yang abu-abu, kematian ayah yang terlalu dini,  pengalaman hidup yang tidak pernah mempertemukan kami bahkan di persimpangan jalan sekalipun, dan ketidak pedulian, adalah alasan mengapa kami tidak saling mengenal.
dan saya dan saudara kandung saya tidak keberatan.

pernah suatu sore setelah hari pernikahan saya sebuah pesan singkat sampai di telepon genggam kakak saya. isinya kemarahan dan kekecewaan karena tidak diundang di acara pernikahan saya. sebuah pesan dari kakak tiri pertama.

saya hanya merasa geli dengan hal itu. memang benar bahwa darah itu
kental, jendral.tapi kalau tidak berperan sama sekali kemudian apa guna nya.
kecuali saudara kandung saya yang satu saya tidak benar-benar menghargai siapapun yang mempunyaiketerikatan darah dengan saya.
mereka hanya sekumpulan orang yang harus kami temui saat hari raya. hanya itu.

saya juga ingin Ara begitu pula memaknai nya. tentunya kecuali bila ia nanti punya adik, maka seluruh hidup nya jangan sampai terpisah dari adik-adiknya. dalam artian mereka adalah satu sumber, tetap harus saling membantu dengan tetap menghargai kedirian masing-masing.

pada dasarnya semua manusia sama. tidak lantas jika saudara anda akan bersikap lebih baik. tidak lantas jika saudara kita boleh bersikap buruk bahkan jahat dan semena-mena. tapi tidak lantas kita membatasi orang bersikap baik hanya karena mereka bukan sudara kita.

saya teringat buku Susanna Tamaro, rispondimi,-jawablah aku-. diceritakan tentang seorang gadis benama rosa yang ditinggal mati ibu nya saat ia masih kanak-kanak, sehingga ia diasuh di panti asuhan. tetapi kala masa libur tiba ia harus bersama 'wali' nya, paman sang ibu. ternyata 'keluarga sedarah' rosa tidak mengharapkan kehadirannya. hal itu menyebabkan banyak kesalahpahaman dan ketidak bahagiaan rosa. pada akhirnya hal itu sangat mempengaruhi masa depan dan kepribadian rosa. rosa kecewa, mengapa ia tidak dibiarkan tinggal di panti asuhan terus menerus saja. life *sigh*

beda lagi dengan kebanyakan buku Amy tan yang sangat menggaris bawahi garis keturunan. mungkin karena budaya yang diangkatnya- cina- adalah budaya yang kental sekali dengan  urusan darah. kalau udah baca buku-buku beliau rasanya jadi teringat saudara-saudara jauh. hehe.

kakek saya keturunan ningrat, ia punya daftar siapa orang tua siapa. siapa anak siapa. bagi saya, itu semua tidak penting. semua orang saudara saya, semua orang bukan saudara saya. pada akhirnya meski banyak manusia di dunia, sedarah atau bukan, kita menjalani semua ini sendirian.

next question, please?
:)
- 0 comments

Galaw

Another kinds of motherhood. Jadi sejak bayi saya sendiri lah yang mengasuh Ara. 24 jam sehari 7 hari seminggu 525.600 menit setahun. Kadang rasanya kangen menjadi saya yang sendiri, pengen jalan-jalan kemana-mana bebas, mau lama-lama di toko buku ya oke aja. tapi ternyata kebiasaan itu bisa juga jadi cinta, bahkan sesuatu yang sulit untuk tidak dilakukan atau di rasakan. Kebiasaan jadi ibu ya kemana-mana sama anak. teryata kalau pergi berdua sama suami terasa ada yang kurang. meski agak repot bawa ini itu tapi puas rasanya kalau sudah pergi sekeluarga lengkap.

sebelum memutuskan untuk kembali bekerja beneran saya berharap Ara dapat dekat dengan orang lain. minimal dengan anggota keluarga lain. awalnya ya agak susah. apalagi dari bangun tidur sampai tidur lagi ya seringnya sama saya terus. dari makan, buang air besar/kecil, sampai tidur pun co-sleeping. maka keinginan saya agar Ara mau dipegang orang lain semakin menjadi-jadi. biar dia mandiri. biar ga jadi penakut. dan sebagainya.
perlahan-lahan hal itu memang terjadi. apalagi setelah tanggal 31 desember 2011 kemarin dia sah menjadi anak tanpa ASI lagi alias di sapih. Ara mulai mau di urusin oleh Bapak atau Didi nya. memang sedikit melegakan, tapi ada sesuatu yang salah di perasaan saya. tapi saya belum sadar perasaan itu apa.

Nah setelah 2 minggu saya bekerja di luar rumah terjawablah sudah teka-teki perasaan menggelisahkan tersebut. cemburu dan iri. ya, saya cemburu Ara dekat dengan orang dan iri pada orang tersebut karena dekat dengan Ara. parahnya saya iri pada suami saya sendiri.

di suatu petang yang mendukung terjadinya drama saya utarakan hal tersebut pada suami. suami berkata bahwa saya tidak boleh merasakan perasaan negatif tersebut apalagi pada bapak anak saya sendiri. lain hal nya kalau saya iri pada pembantu rumah tangga. meski agak berat saya mencoba memahami dan menjalani. bukankah hidup adalah kompromi.

sekarang meski siang nya ara di asuh oleh bapak dan didi nya tetapi saat malam datang ia benar-benar tidak mau lepas dari saya. kata-kata favoritnya adalah "ibu aja!". terkadang bapak dan didi nya bergumam "huh, kalau udah ada ibu adek gitu deh". hehe.

life is a box of surprises. you never know what you will get, or you feel.

^.^
Thursday, March 15, 2012 - 0 comments

working mom

ini adalah hari ke empat saya mulai bekerja beneran. sejak Ara lahir saya memang sudah bekerja, bedanya adalah Ara selalu saya bawa ke tempat kerja. karena situasinya memungkinkan dan mendukung untuk saya membawa bayi.

2 hari sebelum kerja beneran saya sempat ga bisa tidur. dilema itu bikin galaw *eaa*. sampe kebangun jam 3 malam, gangguin suami saya dengan tangisan dan mewekan ala emak-emak. meski suami saya menenangkan saya agar tidak khawatir tapi saya masih saja galaw.

hari pertama saya di wanti-wanti suami agar tidak memikirkan Ara. "pokoknya kamu fokus ke situasi dan pekerjaan baru mu, ga usah mikirin adek", begitu katanya dulu. dan saya melaksanakannya dengan taat. hasilnya memang bagus, meskipun jauh dalam hati kecil saya merasa bersalah mengapa saya 'menduakan' Ara. selama ini dia yang menjadi nomor satu dan utama, tapi saya harus membuatnya menjadi prioritas kesekian.

sekarang hari ke empat. meskipun saya sudah mulai bisa mengatasi beberapa masalah saya sendiri tapi masih saja berat untuk mengatakan bahwa ara mendapat sedikit dari waktu keseharian saya.

seperti saya baca di sebuah sumber, saya melakukan ini bukan semata untuk kebutuhan Ara. tapi kebutuhan , kelangsungan hidup, dan masa depan kami sekeluarga. live is about to choose right. meskipun sadar akan hal itu tetap saja hati egois ini berandai-andai : kalau saja sehari ada 48 jam dan jam kerja hanya 8 jam, pasti saya punya 40 jam untuk Ara.

kalau kamu pandai bersyukur, kamu ga akan kaya, tapi saat kamu butuh uang itu selalu ada. -semar via @sudjiwotejo

bersukur ya,nak. love you to the bones.