Tuesday, July 30, 2013 - 0 comments

Magic words for little one

Banyak cara untuk menanamkan hal baik kepada anak. saya ingin membagi nya disini. saya pernah menonton film The Help, dimana ada satu scene saat si pengasuh mengatakan hal-hal baik tentang si anak dan di lakukan berulang-ulang, meskipun anak tersebut bukan anak kandung nya tapi ia mencoba membangun karakter anak agar bertahan dalam suasana keluarga nya yang mengabaikan keberadaan nya.

sejak saat itu saya selalu membisikkan 4 hal kepada Ara sebelum ia tidur. bahwa kakak Ara itu Baik, kakak Ara itu Cantik, kakak Ara itu pintar, dan kakak Ara itu penting.

Baik,agar ia menjadi manusia yang manusiawi. Cantik, agar ia merasa percaya diri. Pintar, tentunya pandai dalam segala hal. dan Penting, agar ia merasa di hargai dan kehadiran nya di dunia ini bukan tanpa alasan.

dulu waktu saya memulai mengatakan magic words itu Ara belum paham. setelah paham pun ada fase dia tidak mau mendengarkan. tapi sekarang menginjak usia 3,5 tahun ia merasa punya moment menjadi anak tersayang mama bila saya mengatakan 4 kata diatas. ia bahkan sudah hapal bila mama mendaraskan kata ajaib :
(kakak itu Ba...)..ik, (kakak itu can..)..tik, (kakak itu pin..)..tar, (kakak itu pen..)..ting! ( ilove you sayang), i love you mommy.

what a wonderfull world.

saya belum tau dampak nya bagi masa depan Ara, tapi harapan dalam kata-kata mama adalah doa bukan. ayo mulai katakan hal-hal bagus mengenai si kecil anda.

Sunday, July 21, 2013 - 0 comments

Quote for daughter

"Apapun yang kau lakukan, kau tidak harus pergi ke gereja setiap hari atau setiap minggu. Sepanjang kau bisa meletakkan kepala di bantal di malam hari dan tidak menyesali hal-hal yang sudah kau lakukan seharian, berarti kau telah menjadi kristen yang baik..
Jika kau menyesal, jangan lakukan itu lagi"
Omi, Little girl lost, hal. 23

Monday, July 15, 2013 - , , 1 comments

Tentang Daycare

Untuk beberapa orang tua bekerja menitipkan anak ke pengasuhan orang lain adalah hal yang teramat sangat berat. Kenapa saya katakan beberapa? karena ada yang masih punya orang tua a.k.a kakek nenek yang bisa di titipin. Tentunya nggak seberat kalau di asuh oleh orang lain dong. For some reasons orang tua lain terpaksa menitipkan anak nya ke berbagai macam alternativ pengasuhan anak. Itu tergantung pemikiran dan keadaan masing-masing keluarga.
Untuk kami yang tidak bisa menitipkan anak ke orang tua/saudara maka pilihan nya hanya dua : asisten rumah tangga atau daycare. Pilihan jatuh di nomor dua. Awalnya saya nggak tega, apalagi kami masih menggunakan kendaraan bermotor dua sebagai alat transportasi. Kalau hujan pas dia pulang duh ngerasa bersalah banget. Selain alasan itu sih semua oke oke saja. Baiklah saya akan berbagi pengalaman soal ini.
Memilih daycare itu kayak cari soulmate. Begitu banyak syarat yang harus dipenuhi. Apalagi buat anak nggak boleh coba-coba ya.. Meskipun nggak ada yang sempurna paling enggak beberapa prinsip utama dipenuhi oleh daycare yang kita pilih.
Pertama kami mencari daycare di daerah tempat kerja saya yang kebetulan dekat rumah juga. Tentu dengan alasan nanti dekat kalau menjemput. Anak juga tidak terlalu jauh di perjalanan. Di daerah itu memang terdapat satu daycare yang sangat sesuai dengan kebutuhan dekat yang kami pikirkan tadi. Cukup 5 menit dari tempat kerja saya dan 10-15 menit jaraknya dari rumah. Sangat ideal. Tetapi ketika kami survey ada beberapa hal yang menurut kami tidak sesuai. Daycare tersebut bisa di bilang baru berdiri. Letaknya di sebuah rumah toko dua lantai. Saya nggak bermaksud menceritakan hal buruk atau sebagainya, saya memaklumi sebagai usaha baru di butuhkan banyak modal, tapi sayang fasilitasnya minim sekali. Dengan interior minimalis maka kondisi nya terlihat agak kumuh, lagipula hanya terdapat dua bed disana. Satu di lantai bawah dan satu lagi dilantai atas untuk anak yang usianya diatas 3 tahun. It means mereka berbagi bed dengan anak lain. Emang double bed gitu bisa buat berapa anak sih? Untuk usia 3-4 tahun mungkin hanya muat 4 anak. Sedangkan yang bawah buat anak di bawah 3 tahun, they also should share the bed? Selain masalah tempat, jumlah pengasuh juga jadi pertimbangan kami. Dengan 2 pengasuh saya nggak yakin anak saya di-handle dengan baik. Kalau untuk guru sih nggak masalah ya handle 20 anak sekaligus, tapi ini kan pengasuhan dari pagi sampai sore. Apalagi kekhatawiran kami karena baru pertama menitipkan anak ke orang lain. Bisa-bisa anak saya dicuekin nih, begitu pikir saya waktu itu. Hal terakhir yang mengurungkan niat kami memilih daycare tersebut adalah tempat nya yang berupa ruko. Anak akan naik tangga sendiri, belum lagi depan ruko langsung tempat parkir. Bisa-bisa dia lari keluar tanpa ada yang mengetahui bisa gawat. Cukup kan ya alasan-alasan itu.
Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke daycare lama. Mengapa kami sebut 'lama' dikarenakan persis setahun lalu saya pernah survey tempat ini. Sebenarnya kami sudah sangat sreg dengan daycare tersebut hanya saja setelah survey saya memutuskan untuk tidak bekerja lagi jadinya batal menitipkan Ara disana. Yang jadi pertimbangan kami sebenarnya adalah letaknya yang lumayan jauh dari tempat tinggal kami. Sekitar 30 menit bila lalu lintas lancar. Tapi suami membantu dengan mengatakan apakah kita merasa aman meninggalkan anak 8 jam dengan pengasuhan seadanya meskipun dekat dengan dengan rumah, atau mempercayakan pada ahli nya walaupun jaraknya jauh. Toh selama perjalanan Ara juga baik-baik saja. Meskipun ragu pada awalnya tapi akhirnya saya memutuskan untuk percaya.
Tempat penitipan Ara ini bernama Eduard Michelis. Di bawah yayasan sosial Soegijapranata. Memang yayasan Katolik. Tapi itu bukan satu-satunya alasan kami. Bangunan sekolah Ara menempati bangunan paling belakang. Seperti layaknya bangunan yang dimiliki yayasan katolik lain, kawasan Eduard micelis ini juga mempunyai bangunan yang heboh besar, luas, dan rindangnya. Kenapa saya katakan kawasan, karena Eduard michelis di kelilingi oleh bentuk pelayanan lain di sekitarnya.  Seperti Balai Pengobatan di bagian depan, Rumah bersalin di bagian tengah, panti Wreda untuk suster di bagian belakang, jadi untuk masalah keamanan pasti terjamin. Tidak langsung menuju jalan besar dan orang asing pun langsung tersaring.
Untuk tempat sudah tersolusikan, hal penting lain adalah pelayanan kepada anak asuh. Bagi anak yang berangkat dari asuhan ibu, seperti Ara, susah sekali untuk berganti ke pengasuhan orang lain. Di harapkan dari daycare menawarkan satu ibu asuh yang menjadi pusat perhatian anak. Meskipun nantinya ketika anak mulai memahami situasi ia harus berbagi ibu asuh tersebut dengan teman  teman nya. Itu sudah tersolusikan di daycare Ara dengan kehadiran bu Emi. Pada awal hari nya di daycare hanya bu Emi lah yang di cari Ara. Hanya dengan bu Emi ia merasa aman. Meskipun ia kemudian bercerita saat makan dan mandi di asuh oleh ibu yang lain, tapi saat pertama tiba di sekolah ia tau harus menuju ke siapa.
Sedikit berbagi pengalaman kami yang tidak mudah menjalani semua ini. Inginnya mama di rumah jagain Ara sampai besar. Tapi karena tuntutan kebutuhan hidup maka saya harus keluar rumah mencari pendapatan. Hari pertama Ara berada di daycare saya merasa bersalah sekali. Pengen nangis, makan siang nggak enak, ingin nya cepet sore biar ketemu anak. Tapi hati di besarkan dengan pemikiran tentang konsekuensi dan dasar keputusan ini di buat. Apalagi tiap bangun tidur Ara selalu nangis karena nggak mau sekoyah. Kami memberi tau Ara alasan mengapa mama harus kerja. Namanya juga bayi, sulit bagi nya untuk memahami. Bahwa mama bekerja agar mendapat uang. Uang di gunakan untuk membantu bapak memenuhi kebutuhan hidup kami. Buat maem, buat sekolah, termasuk beli mainan. Butuh waktu sekitar 3 minggu untuk nya mengerti penjelasan kami. Ketika diberi pilihan bahwa mama di rumah tapi nggak bisa belikan mainan dia menolak. Mungkin dia merasa dilema, tapi begitulah kami mengajarinya memilih.
Dari susah bangun sampai akhirnya mau bangun. Dari bangun nangis sampai akhirnya bangun nggak nangis. Dari nggak mau mandi sampai akhirnya mau mandi walaupun nangis. Dari mandi nangis sampai mandi nggak nangis. Dari sampai sekolah teriak-teriak minta pulang sampai cuma nangis di pangkuan bu Emi. Dari nggak mau ngomongin sekolah kalau di tanya sampai bercerita semua kejadian di sekolah.
Butuh waktu sekitar 7 minggu untuk kami menjalani proses. Terkadang ketika orang mengatakan bahwa semua itu proses, hati kecil kami ingin berteriak. bu sisca  juga membesarkan hati kami mengenai proses yang tiap anak harus jalani. meski kami bertanya sampai kapan proses ini, bagaimana proses orang lain, mengapa proses kami berbeda, sampai muncul pertanyaan mengapa harus ber-proses?? Tapi memang proses lah yang mendewasakan manusia. Bila waktu menyembuhkan luka, maka waktu pula mengajari kita bagaimana harus bersabar dan mengalami.
Hari ini adalah minggu ke delapan. Bangun tidur Ara sudah terenyum. Sambil bertanya "Bapak mau kemana?", "Bapak mau kerja" jawab bapaknya. Lalu ia bertanya lagi "kalau kakak?", jawab si bapak "ya kakak sekolah dong". Lalu tersenyum lah Ara sambil bilang "ah nanti mau bilang bu Emi kacamata bayu ku". Sampai di sekolah ia pun langsung mencari bu Emi, menunjukkan kacamata baru nya, mencium kami dengan suka cita dan melambaikan tangan dengan tersenyum. (/ ^^)/
Well, life..
Terimakasih Tuhan Yesus, bunda Maria, bapa Eduard Michelis, dan tentu ibu-ibu pengasuh Ara. we love you.
#untuk cerita lain ttg daycare will post later yah :-D
ini foto Ara pulang sekolah. wangi ceria dan bahagia..