Halo, kami
sekeluarga mengucapkan selamat lebaran, minal aidin wal faidzin bagi umat
islam. Apa memori lebaran mu?
Biasanya di hari
pertama lebaran di gunakan oleh umat islam menjenguk
sodara yang telah meninggal sesaat setelah shalat Ied. Meskipun kami adalah
keluarga nasrani tapi kami juga melakukan hal tersebut. Pagi hari di hari
pertama lebaran kami berkumpul di rumah bapak mertua untuk selantunya
mengunjungi makam ibu mertua. Makam ibu mertua saya berada di pemakaman umum di
tengah kota Semarang yang di sebut Bergota. Bila waktu mengunjungi makam di
hari sebelum puasa dan lebaran tiba maka itu adalah saat pemakaman tengah kota
tersebut ramai dipenuhi oleh manusia yang tumpah ruah datang dari penjuru
Semarang. Tapi seperti layaknya pemakaman lain di Indonesia, secara tiba-tiba
tempat tersebut dipenuhi pula oleh pengemis yang entah dari mana asalnya.
Letak pemakaman
Bergota memang agak masuk dari jalan utama, Jl. Pandanaran. Jadi sepanjang 300
Meter sebelum area pemakaman, jalan raya sudah dialih fungsikan menjadi
pedestrian. Sedangkan ujung jalan utama dan ujung gang masuk di sekitar daerah
tersebut sudah menjadi tempat parkir kendaraan. Tapi mirisnya sepanjang jalan
yang dilalui para peziarah dipenuhi dengan pengemis. Mungkin jumlahnya dengan
peziarah yang datang dan pergi berbanding lurus. Bila di bagian tengah jalan
raya ada marka jalan, maka untuk pedestrian mendadak ini menjadi tempat para
pengemis khusus (maaf) penderita lepra. Saya tidak tau sejak kapan penderita
lepra dipajang di tengah jalan seperti
itu, tapi siapapun pengatur nya saya kok tidak sepakat. Apa mungkin
pertimbangannya adalah mereka yang mempunyai keterbatasan mendapat bagian
tempat yang gampang mendapat sodakoh. Tapi menurut saya, di dunia ini rejeki
tidak dapat dipastikan. Ia mengalun dengan iramanya sendiri. Mau ngemis di
tengah atau di pinggir jalan kalau belum rejeki ya tidak dapat bagian.
Sebelumnya saya minta maaf, tapi para penderita lepra itu bahkan ada yang secara
akrobatik meminta-minta. Miris nggak sih? Mau ziarah ke makam saudara malah
mendapat pemandangan seperti itu. Orang mau ngasih malah ngeri sendiri. Anak
saya yang baru 2,5 tahun saja sampai heran. “Mah, Bapakna Kasian ya”. This is
the way the world is spinning around, kid.
Dengan berbagai
macam pemberitaan yang terbuka sekarang, masyarakat kita sudah lebih pintar. Bukannya
suudzon ya, tapi kalau lihat pengemis pakai baju bagus, badan masih seger, apa
ya rela ngasih uang Cuma-Cuma? Apalagi kalau lihat yang gendong anak, bukannya
kasian malah kita jengkel. Aduh bu, please deh. Anaknya dititipin siapa kek di
rumah. Kalau nggak ada yang dititipin yaaa...gimana ya..caranya gitu..ya gimana
baiknya deh *grin*
Bedanya dengan
pemakaman di desa ibu saya ya masalah pengemis ini. Hampir tidak ada yang
namanya pengemis di desa. Apa ya rela ngukur jalan yang di temuin Cuma sawah :D
jadi suasana ziarah lebih kerasa. Apalagi letak makam di desa ibu berada di
pojok desa, melewati persawahan pula. Di kelilingi sawah dan sungai pemakaman
di desa ibu memang lebih membuat merinding dari pada pemakaman di kota. Apalagi
masih di naungi oleh pohon beringin yang sudah tua dan lapuk. Bila musim
berangin makin bkin merinding, merinding suasana dan merinding ketakutan
kalau-kalau dahan pohon patah :D beda banget sama yang di kota, oya, for yor
information, pemakaman umum di Semarang yang bernama Bergota itu udah mirip
sama pemukiman padat penduduk. Untuk area tertentu hampir tidak ada yang
namanya jalan setapak untuk lewat manusia. Jelek nya sih, sampe harus nginjek
makam lain kalau terpaksanya bener-bener buntu. Meskipun area nya luas (
mungkin kalau jadi perumahan udah jadi beberapa cluster) tapi suasana serem ga
di dapat sedikitpun karena pohon disana pun pohon ramping. Misal kamboja,
mengkudu dan pohon-pohon sejenisnya.
Ebedewe, Kok kita
jadi ngomongin makam sih?! Serem deh :-S
Setelah berziarah
kami pun pulang, terkadang mengunjungi saudara dulu baru pulang ke rumah
masing-masing dengan kegiatan masing-masing.
Itu memori lebaran
kami. Kamu?
0 comments:
Post a Comment