Wednesday, May 15, 2013 - 0 comments

Librari-lover

Saya tiba-tiba kangen sama perpustakaan. Well,i was a library maniac. Dulu sewaktu masih nomaden, young, single and available, saya nggak pernah nggak punya library member card.
Semua berawal dari perpustakaan esema. Disana saya pertama  kali bertemu trilogi genduk duku-lusi lindri-roro mendut. Disitu lah pertama kali saya merasa euforia mendapat akses gratis ke berbagai macam jendela dunia. Saya juga ingat dulu ketika kelas tiga esema saya sering pulang sendiri. Kalau berjalan memutar melewati perempatan alun-alun saya akan melewati perpustakaan daerah. Awalnya saya agak takut dengan bangunan nya yang tua. Gedung mana sih yang ga tua kalau di kelola pemerintah?  Ternyata setelah memasuki bangunan dalam nya saya merasa menikmati suasana homy sebuah perpustakaan. Dont judge a library from its building. Haha. Penjaga perpustakaan nya pun ramah.  Suasana nya nyaman dan dingin. Peminat nya pun lumayan banyak. Kebanyakan memang para pelajar, dari usia sekolah dasar sampai sekolah menengah umum seeprti saya waktu itu. Setelah buku perpustakaan sekolah tidak lagi menarik maka kesini lah saya mampir sepulang sekolah. Hanya bermodalkan kartu pelajar saya sudah mengantongi kartu anggota. Buku-buku nya pun lumayan lengkap untuk ukuran perpustakaan daerah. It is a great memory.
Setelah kuliah saya diperkenalkan dengan perpustakaan wilayah oleh teman-teman kampus. Sebagai anak baru di kota tentu saya takjub dengan koleksi buku yang perpustakaan wilayah (perwil) punya, dibanding dengan perpustakaan sekolah dan daerah di kota kecil saya. Saya merasa beruntung sekali. Apa sih yang ngalahin bau harum buku-buku yang berjejer rapi di rak? It was my little heaven. Untuk beberapa periode disana lah saya menghabiskan waktu.
Setelah bekerja nyambi kuliah ( kebalik nggak sih? ) saya jarang sekali membaca buku. Itu mungkin dikarenakan saya bekerja di seputar internet. Selain itu keinginan mempunyai buku lebih besar di banding meminjam. Karena tempat kerja saya di tengah pusat kota maka akses menuju toko buku pun gampang. Dari toko Gunung agung, gramedia, sampai merbabu. Saya mulai membeli buku. Tidak lagi meminjam. Lagi pula jarak tempat saya kerja-rumah dengan perpustakaan wilayah lumayan jauh. Jadilah saya mulai menjauhi perpustakaan. Apalagi setelah saya lulus kuliah, otomatis saya nggak punya KTM lagi. Makin susah jadi member perwil. Harus dapat surat RT/ instansi tempat kerja. Repot ya. Apalagi semakin menua makin malas lama-lama baca. Lebih baik lama-lama bergaul. Hiyahh.
Sekitar tahun 2008 saya mengeluarkan diri dari tempat kerja yang nyambi kuliah tadi. Berhubung kakak saya menyewa rumah agak jauh dari pusat kota jadi nya saya agak malas keluar-keluar. Saya lupa entah dari mana mendapat informasi tentang perpustakaan daerah di daerah itu, yang jelas saya udah nyasar aja kesana. Hehe. Apalagi bangunan itu tidak bertuliskan perpustakaan daerah melainkan instansi pemerintah lain yang saya lupa apa itu. Pokoknya disana kerinduan saya akan akses buku murah pun terobati. Hanya membayar biaya pendaftaran sekitar Rp. 10.000,- saya bisa meminjam buku sesuka hati saya. Jangan salah lho menilai perpustakaan daerah disana, meskipun nggak lengkap banget tapi saya bisa menemukan Paulo Coelho. Keren kan?
Setelah menikah maka dapat di tebak bahwa saya tidak lagi mengakses buku-buku. Anda benar, tapi juga sedikit salah. Haha. Setelah menikah saya bersama suami tinggal di daerah kota. Tapi tidak lantas saya mendaftar kan diri jadi anggota perwil lagi. Karena saat itu saya bekerja maka saya tidak punya waktu luang tengah hari untuk melakukan transaksi pinjam meminjam di perwil. Tapi saya tidak kalah akal, saya mendaftar penyewaan buku komersial. Well, bisa di bilang mahal sih, tapi kalau ga pegang buku rasanya gimana gitu ya. Meskipun di persewaan buku itu kebanyakan hanya novel dan buku fiksi tapi itu tidak mengurungkan niat saya. Kadang nyempil buku bagus diantara tumpukan buku nggak menarik, kan?
Masa-masa awal punya anak diwarnai dengan kesibukan. Maka untuk masalah buku vakum dulu. Yang sering di baca hanya sumber-sumber tumbuh kembang anak. Tapi setelah anak menginjak 1 tahun rasa rindu membaca itu datang lagi. Kebetulan di tempat baru itu ada persewaan buku juga. Agak mahal sih kalau di hitung-hitung tapi persewaan buku ini lumayan bagus juga. Buku-buku nya pun nggak main-main. Bayangkan, di persewaan buku yang kebanyakan koleksinya adalah komik kita bisa menemukan buku berat nya Karen Armstrong. I was a lucky girl.
Sekarang, di tempat tinggal baru ini saya seperti terbuang jauh ke masa purba. Tidak ada perpustakaan, tidak ada persewaan buku, jauh dari toko buku, jobless-which mean i can not spend money that i am not earn-, i am totally lonesome.
Thats why how i miss spending time all day long dlosoran in the library. I miss those times. Bau buku di rak, suasana orang-orang yang nutupin buku-buku yang mau kita lihat, atau rebutan mau ngambil buku yang sama. Saya Cuma bisa berharap nanti kalau anak saya sudah cukup besar saya bisa mengajari nya mencintai (and dying for) perpustakaan. Like i was, and i am still.

0 comments:

Post a Comment