Monday, April 16, 2012 - 0 comments

Ibu dan Anak

relasi ibu dan anak, layaknya hubungan antara manusia lainnya, adalah sesuatu yang kompleks. atau bahkan paling kompleks diantara hubungan yang lain?

akhir-akhir ini saya sering memikirkan begitu rumitnya hubungan ibu dan anak. saya dan anak. saya dan ibu. ibu dan anak-anaknya. bahkan anak tak ber-ibu.

pernahkan anda membaca buku-buku karya Amy Tan? saya pernah membaca beberapa, dan highlight yang menyilaukan mata bathin saya adalah Amy menyoroti hubungan antara ibu dan anak.



mengapa alam menciptakan reproduksi manusia semacam ini? mengapa anak tidak lahir seperti bunga dandelion? tertiup angin, menempel di tanah mana saja, lalu tumbuh. tanpa harus berhubungan dengan tanaman induk. bahkan jauh terbang tanpa harus tau tanaman induk. dan tanaman induk tak merasa pernah 'melahirkan' keturunan. connection unplugged.

tapi nyatanya seorang bayi manusia tercipta sebagai makhluk paling lemah. ia bertahan hidup dari belas kasihan orang dewasa di sekitarnya. ia sepenuhnya hidup dari sang ibu. seperti benalu. padahal ibu tidak selalu seperti lembu, yang kuat membawa dan menanggung ini dan itu.

lalu saya sebagai anak. lalu saya sebagai ibu.

mengapa kebanyakan ibu selalu menuntut. mengapa kebanyakan anak selalu memberontak. mengapa setelah besar anak seperti selalu ingin menunjukkan pada ibu nya bahwa ia punya hidup sendiri. apakah karena ibu selalu ingin terlibat dalam hidup anak? mengapa alam memperumit itu semua?

ditambah dengan kebudayaan yang membuat semacam peraturan tidak tertulis mengenai apa yang seharus nya dilakukan dan tidak dilakukan oleh peran ibu dan anak. ibu terhadap anak. anak terhadap ibu.

jika seorang ibu tidak ingin dianggap sebagai pahlawan mengapa ia selalu minta diperhatikan? jika anak tidak mau di sebut durhaka mengapa mereka selalu membangkang?



saya, dan suami, tidak ingin menuntut banyak pada Ara. tidak memaksakan suatu cita-cita untuknya agar diraih. tidak membebaninya pengharapan agar dilakukan. tidak ingin apa-apa darinya.

saya tidak ingin mengajarinya mencium tangan saya untuk menunjukkan ia harus hormat. sehingga pertanyaan saya yang tidak terjawab sebagai orang jawa adalah : jika tangan ibu nya ibunya saja tak harus ia cium, mengapa ia harus mencium tangan orang lain?


Suatu hari saat Ara bermain di atas dudukan sofa saya meneriakinya agar hati-hati, dan anda tau apa jawab bayi saya? 'tak papa, puut!'. saya geli sendiri. saya tidak merasa tersinggung. juga ketika ia bermain menendangi kepala bapaknya. saya melarangnya bukan karena ia kurang ajar, tapi karena itu menyebabkan kepala bapak nya sakit. sama seperti jika ia menendang anggota badan lain.

sebagai ibu modern saya berani mengajari anak saya sesuatu yang logis. tapi apakah itu menjadikan saya sebagai ibu yang lebih moderat? akankah suatu saat nanti jika anak saya memilih jalan hidup yang tidak saya kehendaki saya akan menuntut nya untuk mematuhi keinginan saya saja? akah kah jika anak saya nanti menempuh jalan hidup yang membuatnya mengubah haluan dari kehidupan kami membuat saya menjadi ibu yang menuntut nya untuk mentaati saya saja? akankah saya sama saja? atau saya dengan legowo melepaskan anak panah saya sejauh yang ia inginkan?

betapa banyak kekhawatiran saya. bukan kepada anak saya. melainkan kepada diri saya sendiri. siapa butuh siapa. siapa benalu siapa. hubungan ibu dan anak tidak bisa di beri garis pasti. seperti hal nya segala yang ada di dunia ini di mata saya, semuanya abu-abu.

bisakah pada masa kami datang, saya dan ara bukan bersikap seperti ibu dan anak. cukup sebagaisesama manusia?

bagaimana caranya?

0 comments:

Post a Comment