Betapa dilematis nya menjadi perempuan kebanyakan di jaman
modern ini. Anda tidak dapat merengkuh dua pilihan dalam kehidupan mengenai
anak anda. Anda hanya boleh memilih satu, dengan berbagai macam konkuensi.
Wanita pekerja atau ibu rumah tangga. Kalau di jaman dulu, dengan psikologi
orang jawa, wanita hanya punya satu pilihan. Menjadi ibu rumah tangga dan semua
orang memakluminya. Kalau pun beberes rumah dan nganter makan suami di sawah
sih sudah kewajiban ya. Maksud saya disini, perempuan jaman itu tidak di tuntut
oleh perkembangan jaman. Kebutuhan informasi, perkembangan pemikiran dan
kemampuan, serta berbagai macam tetek bengek emansipasi. Well, i am not trying
to say that is a bad thing, tapi kebutuhan cara pandang dan pemikiran
membuatnya tidak se-sederhana jaman dulu.
Pertama mari kita bicara tentang wanita pekerja. Sesingkat
apapun jam kerja anda, anda tetap tidak gampang untuk bisa memusatkan pikiran
dalam tumbuh kembang anak. Butuh extra tenaga untuk keluar dari masalah bisnis
kemudian memikirkan stimulasi apa yang tepat untuk mengembangkan kemampuan dan
tumbuh kembang balita anda. Beberapa wanita memilih banyak bantuan untuk
melakukannya. Selagi bekerja mereka memberikan tanggungjawab perkembangan anak
ke lembaga pendidikan yang bonafide. Selepas jam kerja? Ya waktunya istirahat,
toh besok tanggung jawab itu masih di pegang oleh lembaga pendidikan anak
tersebut. Kalau hasilnya jelek ya tinggal tuntut atau paling tidak ngomel,
standar seperti apa yang di inginkan, dan lembaga pendidikan harus berusaha
mendidik si balita se-sukses mungkin.
Saya sempat beberapa kali melihat atau mendengar cerita
tentang keluhan ibu rumah tangga yang tidak cukup memberikan waktu buat sang
buah hati. Rasa bersalah, cemburu dengan pengasuh, sampai ketidak harmonisan
hubungan ibu dan anak menjadi masalah wanita pekerja. Mereka terlalu lelah
bahkan hanya untuk mendengar si anak bercerita. Buruknya, anak bahkan tidak mau
bercerita pada ibu, karena pertemuan yang singkat membuat kualitas hubungan
menurun. Ibu hanya orang yang mencari uang untuk kebutuhan ku. Itu memang
penting. Suatu saat ketika dewasa ia akan mengerti. Tapi siapa yang mengisi
kekosongan waktu ketika ibu mencari penghasilan? Di situ letak masalahnya.
Seperti saya katakan di awal tadi bahwa setiap pilihan mempunyai
resiko, harapan kita adalah meminimalisir resiko tersebut. Bagi ibu bekerja,
sepulang dari kantor cobalah untuk tidak memegang pekerjaan rumah tangga.
Luangkan waktu yang hanya beberapa jam sebelum anak tidur untuk mendekati nya.
Menanyakan bagaimana hari nya dan mendengarkan seluruh cerita. Bila anak sudah
besar tentu lebih banyak kegiatan yang bisa di lakukan dan di bicarakan
bersama. Toh selelah apa pun kita tidak akan merugikan bila menunggu anak tidur
dulu baru mengistirahatkan diri sendiri. Memang waktu weekend adalah waktu
untuk membayar hutang pada anak-anak, tapi kita kan bukan orang tua hanya saat
weekend saja. Kita orang tua penuh. Lupakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci/
setrika, menata lemari, dan sebagainya. Mereka bisa menunggu.
Yang kedua adalah menjadi ibu rumah tangga. Jika anda adalah
tipikal perempuan yang susah sekali melepas anak sendiri maka anda tidak punya
pilihan lain selain menjadi ibu rumah tangga. Jadi pengangguran itu memang
terlihat menjanjikan. Banyak waktu luang untuk diri sendiri. Eits, siapa
bilang? Anda harus mengikuti dan membimbing waktu biologis anak. Dari saat anak
bangun sampai anak tidur. Dan waktu diantara hal tersebut sudah menyita waktu.
Dengan anak yang ditungguin seperti itu bukan hanya saat di rumah saja si anak
jadi mommy’s children, tapi juga di luar rumah. Rasanya seperti anda tiba-tiba
punya kembaran yang mengikuti kemana pun
kita pergi. Kalau yang dilahirkan kembar sih mungkin sudah bisa
membayangkan. Mungkin analogi itu kurang
tepat karena kembaran nggak selalu butuh di bantu, di cebokin, di gandeng, dan
sebagainya. Anda sudah bisa membayangkan kan? Pantas saja orang jawa punya
istilah jika seseorang sudah punya anak ‘wes
nduwe buntut’ alias sudah punya ekor. Tau dong ekor selalu mengikuti kemana
pun kita pergi. Ibu rumah tangga jarang punya waktu untuk diri nya sendiri. Siapa
bilang ibu rumah tangga adalah pekerjaan ringan? Kadangkala saya mengalami
bahwa 24 jam sehari saja tidak cukup untuk membereskan rumah. Malam ini di
bereskan besok berantakan lagi.
Dengan tuntutan jaman dimana wanita setara dengan pria, maka
sulit untuk memilih. Apalagi bagi wanita yang sebelum menikah sudah mempunyai
gelar akademis. Sulit untuk tidak mengabdikan
diri kepada bidang yang sudah dipelajari bertahun-tahun. Paling tidak jika
wanita tersebut memilih untuk merawat anak ia tidak hanya berkutat dengan
tumbuh kembang anak. Wanita butuh informasi, butuh pergaulan, butuh hiburan,
dan sebagainya. Betulkan apa yang saya bilang kalau wanita modern tidak
se-sederhana wanita jaman dahulu.
Tapi apapun keputusan ibu, semua ada resiko dan manfaatnya.
There’s no perfect mom in this world, meskipun ibu itu adalah ibu rumah tangga
super sabar dan penuh kasih sayang , there’s no such thing. Yang terpenting adalah kesadaran dan kepedulian
ibu dalam mengemban tugas nya sebagai orang tua. Ayah turut bantu ibu dong ya.
Jadi anak tidak merasa berat sebelah, tapi merasa bahwa ia bisa mengandalkan
kedua orang tuanya.
0 comments:
Post a Comment